SEMUA NASKAH PENTAS DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DAN TIDAK DAPAT DISALIN SECARA LANGSUNG

Himbauan

Mementaskan naskah di blog ini harus seizin penulis.

Selasa, 16 Maret 2010

CINCONG-CINCONG DALAM GERIMIS


Jacob Marala



Pemain :
1. Palingge
2. Borra
3. Dumba
4. Perempuan/pelayan bisu
5. Adik perempuan
6. Ipar

SEBUAH PERKAMPUNGAN DI KAKI BUKIT (BANGKENG BULU’) ADA POS RONDA. JUGA TERDAPAT WARUNG KOPI SEDERHANA DI ANTARA BANGUNAN TERDAPAT SEBUAH MEJA AGAK PANJANG, DUA BUAH BANGKU DAN SATU BUAH KURSI MENGHADAP PENONTON. CUACA DINGIN DAN GERIMIS TURUN AGAK DERAS. BORRA, YANG SEDARI TADI DUDUK DISALAH SATU BANGKU, BERTEDUH DIBAWAH PAYUNG KUMAL, ASIK MEMBACA KORAN SAMBIL MENIKMATI SEGELAS KOPI HITAM DENGAN ROKOK BERASAP DI JARI TANGAN KANANNYA. SEKALI-SEKALI BORRA TAMPAK GELISAH MEMPERBAIKI DUDUKNYA, MENENGOK KIRI DAN KANAN MENUNGGU KALAU-KALAU ADA TEMAN RONDA ATAU KENALAN YANG BAKAL LEWAT. MAKLUM KANTONG LAGI KEMPES, PADAHAL KOPI YANG TINGGAL SEPARUH GELAS MESTI DI BAYAR SEBELUM MENINGGALKAN TEMPAT.

BORRA: (MEMBACA SAJAK) Menunggu dan menunggu. Yang datang cuma secabik cakrawala. bisu Tersungkup dalam gelap….. Lakekomae. (BERDIRI MENUJU POS RONADA DAN MEMBUNYIKAN KENTONGAN DENGAN SEPULAUH KALI PUKULAN) (MENENANGKAN DIRI, KEMBALI MEMBACA KORAN) : .............… Ha…ha…ha… (SENYAP)

DUMBA: (JALAN TERPINCANG-PINCANG MEMAKAI MANTEL PLASTIK TUA DENGAN TUTUP KEPALA.)

PELAYAN BISU: (PEMILIK WARUNG) MENAWARKAN MINUMAN, MELALUI BAHASA ISYARAT………………….

DUMBA: O… Satu gelas. (MEMPERJELAS KATA DEMI KATA) Kopi-satu-gelas.

BORRA: (……BERHENTI MEMBACA, DIAM-DIAM MENGAMATI DI BALIK KORAN ORANG YANG SEMENTARA BERDIRI DI DEPANNYA,,,,,,,,,,,,) Sepertinya saya pernah kenal saudara….tapi,…. Kapan dan dimana Ya?

DUMBA: Borra….. Sahabatku BORRA : Dumba !! Teman lamaku… (SALING BERANGKULAN PENUH RASA RIANG CAMPUR HARU)

DUMBA: Akhirnya kita ketemu kembali sahabat.BORRA : Ternyata kau masih hidupDUMBA : Tuhan Maha Kuasa. (KEDUANYA LALU DUDUK MASING-ASING MENENANGKAN PERASAANNYA……MEMPERHATIKAN SUASANA…) Rupanya kampung kita, sedikit sudah ada perubahan.

BORRA: Justru banyak perubahan. Satu-satunya yang tidak berubah adalah bukit ini. Tidak pernah kemana-mana.

DUMBA: Sukurlah, sebab kalau bukit ini berpindah, kau pasti tidak disini lagi.

BORRA: Dan kitapun tidak akan pernah ketemu kembali.

DUMBA: Ia, yah ? ……….. (FAKUM SEJENAK)

BORRA: Ketika kita masih kecil di tempat inilah kau selalu menikmati masakan Tedong Pallubasa-na Deng Rowa.

DUMBA: Dan kalau tidak salah di seberang sana, kau sendiri tidak pernah tidak, setiap pagi menikmati songkolo’ le’lenna Deng Ngai. (KEDUANYA TERTAWA, BORRA MENUTUP MUKANYA DENGAN KORAN) Aku tahu kalau kau menutup mukamu. (UCAP BERSAMA) Karena kau dan aku selalu Angnginrang ! (TAWA GELIPUN TERDENGAR KEMBALI)

BORRA: Menyedihkan, sungguh menyedihkan.

DUMBA: Untung kita belum punya isteri waktu itu.

BORRA: Ha? Maksudmu?

DUMBA: Jelas, dengan adanya isteri, maka tidak ada hari tanpa hutang dan semua hutang-hutang kita pasti akan ditanggung oleh anak-cucu kita turun temurun.

BORRA: Ya…..Siapa suruh menjadi anak cucunya Dumba.

DUMBA: Dan apa yang salah sehingga menjadi darah dagingnya Daeng Borra, yang gemar berhutang, ha…ha…ha… Tabe… (SAMBIL MERAIH GELAS KOPI BORRA DAN MENEGUK DENGAN SANTAINYA)

BORRA: (MEMANDANGI KOPINYA) Memalukan….DUMBA : Sungguh memalukan ha..ha…ha… (SAMBIL MENGEMBALIKAN GELAS KOPI DITEMPATNYA SEMULA) …… Oh ya, kalau tidak salah ingat? (MENUNJUK) dulu disana ada kandang ayam, milik pak Tulang.

BORRA: Betul dan namanya persis dengan orangnya. Kurus tapi penuh dengan keuletan.

DUMBA: Begitu uletnya sampai-sampai ayam piaraannya besar-besar dan takterhitung banyaknya.

BORRA: Tapi sayang pak Tulang terlalu kikir. Untuk membeli satu ekor saja ayamnya, ia pasti tolak. Bahkan marah-marah dan berkata: Saya lebih suka melihat ayam saya mati, dari pada menjualnya.

DUMBA: Lantara sifatnya yang menjengkelkan itu, membuat saya dan teman kita Burejje, nekat mendatangi kadang ayamnya pada malam hari. Ketika tangan ini kumasukkan lewat terali kandang, ayam itu langsung mematuk, dan sakitnya luar biasa. Kau tahu apa yang terjadi? Tiba-tiba pandanganku berkunang-kunang.

BORRA : Kenapa mesti berkunang-kunang?

DUMBA: Ayam itu, begitu besarnya barangkali, sehingga sekali saja mematuk, jari-jemariku langsung lumpuh, dan terasa ada nilai tambah.

BORRA: Maksudmu? Kau berhasil menangkap ayam itu?

DUMBA: Berhasil apa? Tangan ini laksana memakai sarung tinju, membengkak. Entah kenapa ?

BORRA : (TERTAWA TERPINGKAL) Untung kau hanya satu kali dipatuk, tapi saya tiga kali saudara, akibatnya kedua lengan ini, dari ujung kuku samapai ujung bulu ketiak bagai bantal guling. E de de de de membesar dan sakitnya luarbiasa. Belakangan baru ketahuan, kalau disitu, pak Tulang, ternyata sudah lama enunggu bersama dengan pentungan linggisnya. Jadi bukan ayamnya yang mematuk, usteru pentungan linggis itulah yang langsung menyambar, menghantam setiap ada sesuatu yang menggerayang. Ce. Ce ce ce … saya hampir mati dibuatnya.

DUMBA: O.. ya? Saya baru tahu itu.

BORRA: Saya juga baru tahu, kalau bukan Ibu Tulang yang selalu menyindir-nyindir.

DUMBA: Apa sindirannya?

BORRA: (MENIRU IBU TULANG) Ayam dikandang susah ditangkap. Tangan jahil pentungan linggis. Anak nakal tangannya bengkak. Muka jelek karena meringis. E… Tanpa banyak cincong, saya langsung menghilang. Malu, banyak orang.

PELAYAN BISU: (DATANG MEMBAWA DAN MELETAKKAN SEGELAS KOPI DI ATAS MEJA)

BORRA: (BERBAHASA ISYARAT KEPADA PELAYAN, AGAR KOPI HITAM ITU DIBERI SUSU KENTAL)

DUMBA: Kasihan. Ternyata ia seorang bisu?

BORRA: Ya. Selain bisu ia juga pintar memijat….

DUMBA: Maksudmu memijat? (MENIRU BAHASA ISYARATNYA BORRA)

BORRA: Ah kau ini. Yang aku maksud agar kopi pesananmu diberi susu kental kuda liar…

DUMBA: Sembarangan kau.

BORRA: Biar badanmu jadi hangat di saat gerimis.

DUMBA : Ow … Keluarganya siapa dia?

BORRA: Satu-satunya darah daging, peninggalan pak Tulang.

DUMBA: Seharusnya ia di Museumkan.

BORRA : Hust !..... Pak Tulang telah tewas beberapa tahun lalu.

DUMBA: Tewas? Memangnya pernah terjadi perang?

BORRA: Pak Tulang, yang menegakkan Siri’, telah mencincang lelaki yang membawa lari anak gadisnya, ya kakak si bisu itulah.

DUMBA: Yah, seharusnya memang begitu. Tindakan pak Tulang saya sokong.

BORRA: Tetapi ujung-ujungnya menimbulkan banjir darah. Mereka saling bunuh-membunuh, yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

DUMBA: Kenapa mesti saling membunuh ? Bukankah pak Tulang dipihak yang benar ?BORRA : Begitula kalau malapetaka mau terjadi, pak Tulang yang diliputi rasa dendam boleh dibilang menyalahi aturan main.

DUMBA: Begitukah?...... Terus?

BORRA: Sebagai “Tumasiri” tidak mesti mengejar dan menikam lelaki “Tumanynyala” yang sudah melemparkan songkoknya menyeberang pagar. Apalagi lelaki itu sudah berlindung disebuah rumah tetangga, yang ternyata keluarganya malah.

DUMBA: Oh…….Lantas?

BORRA: Apa mau dikata, seluruh keluarga lelaki tumanynyala itu, balik tersinggung merasa harga diri mereka diinjak-injak. Merasa nipakasiri’. Akhirnya antara keluarga dengan keluarga saling tikam menikam. Cincang mencincang. Dan satu-satunya yang luput dari maut, hanya si bisu itu.

DUMBA: (DI ATAS BAKI PELAYAN, TAMPAK SEGELAS KOPI SUSU BUAT BORRA. SETELAH IA SUGUHKAN, IAPUN MENUANGKAN SUSU KEDALAM GELAS KOPI DUMBA) Kasihan. Sudah lama berjualan kopi disini ? (KEPADA PELAYAN)

PELAYAN : (MENJAWAB DENGAN BAHASA BISUNYA)

BORRA : O.. Sudah 3 tahun katanya. (SI PELAYAN BERCAKAP-CAKAP DENGAN BORRA….. ) Ia bertanya kalau kau ini siapa?

DUMBA: (MERESPON DENGAN BAHASA ISARAT PULA)

BORRA: (MENJALASKAN KEPADA SI BISU) Dia pemuda gantengnya Bangkengbulu’ yang pulang dari rantau.

DUMBA: Bagus !... terus?

BORRA: (PERCAKAPAN TANPA KATA DIAHIRI DENGAN TAWA) Saya bilang padanya kalau Dumba, si pemuda gantang itu kagum padumu. Hatimu sungguh begitu baik, sehingga parasmu bertambah cantik.

DUMBA: Oh..ya? Apa betul kata-katamu itu bisa ia fahami?

BORRA: Bahkan ia nikmati. Makanya ia memukul aku dengan penuh kemesraan. Artinya, semua yang aku katakan padanya masuk diakalnya. Dahsyat toh? tokh ?

DUMBA: Ha…ha….Aku tahu arah pembicaraanmu, kalau semua kopi yang kau minum itu saya yang bayarkan bukan?

BORRA: Tidak, saya serius, ini bukan canda, sungguh…….

DUMBA: Katakanlah kau serius, tapi garodimu itu, membuat sipelayan bisu, terpanah hatinya, lalu memberimu gratis malam ini, bukan? ha..ha… otak encer.

BORRA: Ya, terserah percaya atau tidak, tapi saya jujur saudara……. Omong-omong, darimana saja kau selama ini? Saya tidak pernah menduga kalau kita masih bisa bertemu kembali. Soalnya ada berita yang pernah aku baca dikoran kalau seorang pemuda rantau bernama Dumba, dimutilasi dan menjadi 12 potong..

DUMBA: Agrh.. Kamu salah baca, bukan Dumba tapi Dungga, dari India, pemuda kewarganegaraan Tambi.

BORRA: Barang kali mataku ini sudah rusak, atau bagaimana ya?.

DUMBA: Maksudmu agar aku membelikan kaca mata baca, begitu bukan?

BORRA: Yaaah.. kalau kau memang punya uang apa salahnya.

DUMBA: Anjo’! Kukana memangja, E, sebenarnya mata itu tidak rusak. Melainkan sewaktu membaca koran, hayalanmu ada di lain hati.

BORRA: Hus. Tidak baik memfitnah sauadara, apa lagi saya ini sudah lama insyaf.

DUMBA: Ow. Syukurlah, … Waktu telah berlalu. Tuhan, Maha Agung Engkau. Aku dan sahabatku I Borra masih sempat Engkau pertemukan seperti dulu. (JEDAH) sebenarnya saya sudah satu minggu disini. Tapi kukatakan kepada Pak Desa agar kehadiranku jangan dulu disampaikan kepada siapa-siapa. Lalu Pak Desa bilang kalau semua penduduk di kampung ini wajib ronda bergilir. Dan kebetulan malam ini adalah malam giliranku katanya, maka akupun hadir disini.

BORRA: Dan kitapun jumpa di warung kopi….. Sesungguhnya apa sebetulnya yang menyebabkan sehingga kau meninggalkan Bangkengbulu’

DUMBA: Kalau saudara menghilang di tengah orang banyak karena sindiran Ibu Tulang, maka aku membuang diri dinegeri orang karena malu pada diri sendiri ………. Epat puluh tahun lamanya diperantauan. Seharusnya ada oleh-oleh buat saudara-saudaraku di Bangkengbulu’ tapi E.. Lihatlah, pulang-pulang hanya membawa kesia-siaan…..

BORRA: O…hoh hah,….. yang paling penting dan berharga adalah jiwamu dan dirimu sendiri saudaraku.

DUMBA: Apa lagi yang kau maksud?

BORRA: Jelas tokh? Kalau badanmu saja yang datang tanpa nyawa itu berarti mayat. Dan kalau rohmu saja, itu namanya hantu. Bisa-bisa ada penampakan di Bangkengbulu’.

DUMBA: Sembarangan saja kau (MENEGUK KOPINYA) Yah… begitulah. Semua ijazah yang aku miliki, yang aku anggap sebagai modal paling berharga, ternyata tidak ada gunanya. Cita-cita dan harapan semuanya menjadi Error.

BORRA: Nasib kita sama. Sehingga saya kira di masa yang tidak menentu ini, jangan coba-coba melamar masuk Instansi Pemerintah, atau semacamnya kalau tidak punya uang pelicin ratusan juta rupiah. Apa lagi tidak punya becking, menyakitkan saudara. Menyakitkan.

DUMBA: Betul-betul menyakitkan, dan itulah yang aku alami. Dari pada hidup teraniaya di negeri rantau, jauh lebih berguna meneteskan keringat di kampung sendiri, sambil menikmati nasi Koboina Deng Nya’la’ (KEDUANYA TERTAWA)Oh ya Bagaimana dengan tetua kita yang lainnya?

BORRA: Daeng Rowa, Daeng Ngai, Daeng Pajja, Tetta Baco, Puang Bantong, Tuangngabu, Mister Lantoro semuanya sudah lama Games.

DUMBA: Kalau diingat-ingat, diantara mereka ada saja yang begitu besar jasanya kapada kita.

BORRA: Betul. Terutama bila kita tertimpa musibah.

DUMBA: Ya, seperti aku sekarang ini. Andai kata Mister Lantoro masih hidup, kakiku yang keseleo ini tidak perlu berhubungan dengan Medis (SAMBIL MEMPERLIHATKAN KAKINYA DI ATAS MENJA YANG DIBALUT DENGAN PERBAN) Yang begini kan tidak masuk akal toch ?

BORRA: O..memang salah. Keseleo tidak perlu diperban. Ini harus di urut (MEMEGANG LALU MENGURUT KAKI YANG KESELEO SEKETIKA ITU PULA DUMBA MENJERIT LANTANG SETINGGI LANGIT ) Sebenarnya kakimu ini tidak apa-apa, cuma perasaanmu saja yang merasa sakit.

DUMBA: (BELINSATAN SAMBIL MERAJUK) Kau masih seperti dulu senang menyakiti orang. Seumur-umur saya belum pernah merasakan kenyerian seperti ini. Sungguh, kalau saja kau tidak kuanggap saudaraku, akan kuajak kau berkelahi.

BORRA: Kalau saya tidak mau?

DUMBA: Akan pukul kau sampai gepeng seperti pisang peppe’

BORRA: Kalau saya lari?

DUMBA: Akan kukejar kau sampai dapat.

BORRA: Dan begitu dapat, aku langsung memelukmu saudaraku. (MERANGKUL SAHABATNYA) Alaaaah kau ini sudah setua begini masih cengeng. Percaya tidak ? Kau masih sangat beruntung. Tidak seperti aku. (MEMPERLIHATKAN BISUL DI BAHAGIAN PANTATNYA) He. Lihat, sudah seminggu lamanya belum sembuh-sembuh juga. Tapi saya-kan tidak cengeng (TIBA-TIBA DUMBA MENAMPAR BISULNYA.) Adaooww Mengapa ditampar ? (KARENA SAKITNYA IA BELINSATAN………..)

DUMBA: Biar cepat sembuh, dongo’ !!

BORRA: Ia, tapi jangan ditampar. Kalau mau menampar ini pipiku, pilih yang kanan atau kiri. Tampar. Aduuuuh…...

DUMBA : Alaah… masih seperti anak kecil empat puluh tahun silam.

BORRA: Ini bukan kecengengan tapi… tapi sakitnya sakit ini…… sungguh saya takdapat membahasakannya, apa lagi melukiskannya dengan kata-kata.

DUMBA: Ahgrrr… sudahlah, lupakan bisulmu itu seperti aku melupakan sakitnya kaki yang keseleo ini. (MELIHAT JAM) sekarang sudah hampir pukul sebelas. Demi keamanan, kita perlu jalan memeriksa kampung ini, siapa tahu orang jahat sudah membongkar rumah warga.

BORRA: Tunggu teman kita yang lain.

DUMBA: Siapa-siapa saja?

BORRA: Deng Burejje’, dan Sampara’ Nillong.

DUMBA: Allah. Tidak perlu. Si pemalas itu pasti sudah ngorok.

BORRA: Baiklah(MEMBERI ISYARAT KEPADA PELAYAN BISU, KALAU IA AKAN KEMBALI LAGI. KEDUANYAMENUJU POS RONDA LALU MEMUKUL KENTONGAN SEBELAS KALI. SEBELUM MEREKA MELANJUTKAN TUGAS RONDANYA, TIBA-TIBA KEDUANYA MELIHAT BAYANGAN YANG MENCURIGAKAN…………..)



ADEGAN 2
BORRA : Siapa?!

PALINGGE: Saya.

DUMBA: Saya siapa?

PALINGGE: (MENGELUARKAN KOTAK ROKOK DARI SAKUNYA) Apa saudara punya geretan.

BORRA: Kalau iya, kenapa ?!

PALINGGE: ( MENGAMBIL SEBATANG ROKOK ) Dari tadi saya mau merokok tetapi geretan saya hilang diperjalanan. (DAN BATANG ROKOK ITUPUN LANGSUNG MENEMPATI POSISINYA DIKEDUA BIBIR MERAH KEUNGU-UNGUAN)BORRA : (MENYALAKAN GERETANNYA PERSIS DIUJUNG ROKOK YANG SEDANG TERTANCAP DIBIBIR) Sepertinya saudara kedinginan?

PALINGGE : Ia. Betul. Terima kasih.

DUMBA: Saudara ini dari mana?

PALINGGE: Saya dari kampung sebelah. Sebelahnya sebelah. Oh ya, kenalkan : Palingge.

BORRA: Nama saya Borra.

DUMBA: Dumba.

PALINGGE: Dingin ini memaksa saya mencari teman. (KETIGANYA BERJALAN MENUJU TEMPAT DUDUK. MEROGOH KANTONG MANTEL BLUDRUNYA DAN MENGELUARKAN BOTOL MINUMAN ALKOHOL LALU DUDUK DIANTARA BORRA DAN DUMBA. MENENGGAK BEBERAPA KALI MINUMANNYA) Demi persaudaraan, silahkan (KEPADA DUMBA DAN BORRA)

DUMBA: Kami berdua tidak lagi suka dengan minuman keras.

PALINGGE: Hah…..hah…hah…. Minuman ini samasekali tidak keras. Lembut, sangat lembut (MENENGGAK LAGI DAN LAGI) Hm…………. Ayolah kawan, enak, bikin hangat badan.

BORRA: Maaf saya sudah lama insyaf.

PALINGGE : Insyaf ? Saudara pernah berlumuran dosa ?

BORRA: Berlumuran dosa? Saya kira tidak, karena seingat saya tidak pernah berkubang di situ.

PALINGGE: Dilihat dari potongan, saudara memang bisa masuk sorga.

BORRA: Dumba’ kata-kata seperti itu baru saya dengar. Bagus.

PALINGGE: Yah.. karena kita baru ketemu bukan? Kalau saudara? ( KEPADA DUMBA) Sudah lama juga insaf ?

DUMBA: Rasanya saya susah untuk menjawab, karena batas antara baik dan buruk boleh dibilang tidak berjarak.

PALINGGE: Hm…Saudara cocok menjadi seorang Ustas, yang suka mengeluarkan Fatwah. Yah…. Justru paling gampang masuk sorga.

DUMBA: Kanapa saudara bisa tahu? Apa saudara seorang ahli nujum?

PALINGGE: Bukan. Tetapi mendengar budi bahasa saudara berdua, firasatku mengatakan kalau saudara-saudara adalah orang baik. Orang baik itu pasti masuk Sorga.

DUMBA: Maaf. Apakah saudara tahu? seseorang akan di tangkap kalau kedapatan minum minuman keras?

PALINGGE: Ditangkap? Hah…hah… hanya orang yang bersalah yang bisa ditangkap bahkan kalau perlu ia dibunuh !. Tapi saya-kan tidak bersalah. Jadi siapa yang mau menangkap saya ?

DUMBA: Semua orang tahu kalau Negara kita ini punya aturan, punya undang-undang.

PALINGGE : (SINIS) Semakin banyak larangan, rakyat semakin menderita. Semakin banyak undang-undang atau semacamnya, semakin banyak pencuri dan perampok.

BORRA : Hati-hatilah kalau berbicara.

PALINGGE: Kenyataan tidak dapat dibohongi. Dan saya yakin saudara-saudara sendiri dapat merasakannya, bahkan saudara sudah mengalaminya.

DUMBA: Sesungguhnya orang ini sudah mabuk, hanya ia tidak menyadarinya.

BORRA: Dan yang pasti, Polisi akan menangkap siapapun yang kedapatan minum minuman keras.

PALINGGE: (MULAI MABUK) Tidak ! Tidak ada penangkapan malam ini.

DUMBA: Mengapa tidak?!

PALINGGE: (DENGAN SINIS) Ya, karena yang ada cuma dua orang ronda bukan? Borra dan Dumba, lagi pula aku tidak pernah mabuk karena minuman. Tetapi karena mereka telah merampas dan merusak sebahagian jiwaku.

BORRA : Mereka, siapa?

PALINGGE: Sebelum aku katakana saudara-saudara pasti sudah mengetahuinya.

DUMBA: Kami tidak mengerti maksud saudara.

PALINGGE: Ketika nenek moyang kita berada dipuncak kejayaannya, rakyatnya bagaikan hidup didalam Firdaus. Tepi setelah penjajah muncul dan lahir di negeri ini, Firdaus ditelan habis oleh mereka. Penjajah-penjajah itu meruntuhkan semua benteng-benteng kejayaan. Mereka merampas seluruh isi firdaus dan rakyat yang masih bertahan hidup penuh dengan penderitaan. Disamping menderita karena dirampas kemerdekaannya, juga karena hak-nya dirampok secara berjamaah. Dan untuk melupakan semua itu, … Ini ! (MENENGGAK MINUMAN) Ini, jalan terbaik. Sebuah jalan keluar untuk melupakan segala sesuatu yang menyakitkan hati. (TAMPAK OLENG)

BORRA: Apa sudah tidak ada lagi jalan? Selain minum minuman yang memabukkan ?

PALINGGE: Justru didalam minuman inilah, aku temukan sebagian Firdausku yang hilang. Penjajah harus tahu itu. Krenanya aku dan orang-orang semacam Palingge tidak perlu dikejar terus menerus.

DUMBA: Biasanya kalau ada orang yang dikejar-menerus, tidak lain karena ia adalah buronan. Seorang dpo, Atau apakah saudara seorang residipis yang lari dari penjara?

PALINGGE: Aku bukan siapa-siapa dimata yang berwajib. Tetapi bila saya ditangkap, karenabersalah atau tidak, itu sama dengan mendapatkan semacam Dewa Fortuna. Dan itu sudah rahasia umum.

BORRA: Dasar. Tidak pernah ada dewa fortuna tapi Dewi Fortuna.

PALINGGE: Itu kalau perempuan yang ditangkap.

DUMBA: Saudara ini betul-betul aslinya orang mabuk.

PALINGGE: Hah…ha..ha…Mabuk itu adalah rindu. Adalah cinta. Adalah gerbang pertemuan. Adalah sorga. Mampukah kalian memahaminya?

DUMBA: Apa yang harus difahami dari orang gila semacam anda.

PALINGGE: Tuhan mencintai orang gila, karena cintaNya, maka tindakanNya sulit difahami oleh orang yang tidak punya hati dan tidak punya otak ! Mengapa begitu ? Karena orang-orang sekarang telah tega menjadi mahluk latah. Menyerupai badak-badak, bahkan sudah menjadi binatang buas…was…was….was…….

BORRA: (BERDIRI MENDEKATI DUMBA, LALU BERSAMA KESALAH SATU SUDUT) Orang ini harus kita tindaki.

DUMBA: Lalu bagaimana?

BORRA: (MEMBETULKAN LETAK BADIKNYA) Ingin rasanya aku sudahi dia.

DUMBA: Borra, jangan mudah terpancing, biarkan saja ia mengoceh sampai bosan. Yang penting ia tidak menyakiti kita.

BORRA: Terus terang saya lagi dalam keadaan sensitif.

DUMBA: Maksudmu tersinggung? untuk apa bermain perasaan kepada orang yang sudah tidak waras ( KEDUANYA MENUJU KETEMPAT SEMULA……..)

BORRA: Makanya...

DUMBA : Maksudku, gunakan ketenangan jiwamu menanggapi ucapannya. Tidak ada gunanya nekat, belum saatnya!

PALINGGE: Pandanglah hidup sebagai hidup agar kehidupan tetap terjaga. Dengan begitu jalanan akan rata dan kalian tidak perlu joget-jogetan dimalam sepi tanpa dentingan suara kecapi.

DUMBA: Stop!…. Disini tidak ada jalan yang berlubang, tidak ada orang berjoget. Yang ada ialah kaki yang keseleo dan pantat borok karena bisul. (MENAIKKAN KAKINYA KEMEJA DIHADAPAN LAPALINGGE) Lihat !PALINGGE : Oh…maaf kalau saya salah sangka. (HENDAK MEMEGANG KAKI DUMBA TAPI SEBELUM SAMPAI, DUMBA SUDAH BERTERIAK SAMBIL MENURUNKAN KAKINYA) Kaki itu perlu dibongkar, dipatah ulang lalu dipasang kembali.

DUMBA: Bajingan! Membayangkan saja saya sudah taktahan (MENGADU PADA BORRA)

BORRA: He! Kalau bicara jangan asal bunyi tapi berkatalah yang benar.

PALINGGE : Ya, supaya sembuh, sayang…? Ia kan?

DUMBA: Saudara ini tidak lagi mabuk, tapi sudah kualat. Saya mau bertanya : Bukankah saudara datang ketempat ini untuk mencari teman? dan itu saudara telah dapatkan yaitu Borra dan Dumba, lalu saudara mau apa lagi sebenarnya?

PALINGGE: Untuk menemani saya mendapatkan firdaus.

BORRA: Bahaya. Ia betul-betul sudah tidak bisa lagi dipertanggungjawabkan, dia semakin parah.

DUMBA: (BERBISIK) Bagaimana kalau kita tinggalkan dulu tempat ini?

BORRA: (MENDEKATI PALINGGE) Begini saudara Palingge, kami mau ronda dulu siapa tahu disekitar kampung ini, sudah kedatangan tamu yang tidak diundang.

PALINGGE: Saya tersinggung, saya adalah tamu yang tidak diundang.

DUMBA: Maaf, maksud kami siapa tahu kalau-kalau sudah ada pencuri berkeliaran disekitar kampung ini. Permisi...

PALINGGE: Kejahatan terjadi bukan hanya karena niat pelakunya, tapi juga karena menghilangnya Firdaus disetiap hati. Waspadalah ! waspadalah ! Ha…ha….ha.



ADEGAN 3



PELAYAN BISU: (DATANG …… TERSENYUM RAMAH SAMBIL MEMPERBAIKI GELAS-GELAS KOPI YANG DITINGGAL OLEH SANG RONDA)


PALINGGE: (JABAT TANGAN) Nama saya palingge. Dan kau ? O.. Kau bisus ya ? ya..ya… oh….. Tidak saya tidak mabuk. Saya sadar-sesadar sadarnya. Saya ada disini untuk satu tujuan (SAMBL MENGARAHKAN JARI JEMPOLNYA KEBAWAH)

PELAYAN BISU: (MERASA NGERI…MENANYAKAN BORRA DAN DUMBA’……………………)

PALINGGE : Dumba’, Borra, pergi ronda menggeledah kampung. Apa kamu belum mengantuk ?

PELAYAN BISU: (MENGGELENG, JUSTRU MEMEGANG BOTOL DAN MEMIJAT-MIJAT……)

PALINGGE: Oh. Tidak. Saya tidak perlu dipijat. Badan dan perasaan saya cukup sehat. (MENGELUARKAN SEBATANG ROKOK) Kau mau itu ? (BOTOL MINUMAN KOSONG) Ambillah. Tolong kasi juga saya satu gelas kopi. Dan yang semua gelas ini? Berapa harganya?

PELAYAN BISU: (..DENGAN ISYARAT MELALUI JARINYA…………………)

PALINGGE: Jadi semuanya empat ratus lima puluh rupiah? (MENYODORKAN UANG SERIBU RUPIAH BEBERAPA LEMBAR DARI SAKUNYA) Ini……….. (PELAYAN BISU HANYA MENGAMBIL SELEMBAR, DENGAN ISYARAT CUKUP, BAHKAN MASIH ADA KEMBALIANNYA) Tidak, ambil saja semua. Kau perlu tambahan modal, ya?

PELAYAN BISU: (DENGAN GIRANG KEMBALI KEWARUNGNYA, DAN KEMBALI LAGI MEMBAWA GERETAN UNTUK PALINGGE)

PALINGGE: Terima kasih….(DAN BERSELANG BEBERAPA SAAT DATANG KEMBALI MEMBAWA SEGELAS KOPI…………………………………………)

PALINGGE: Jaga dirimu baik-baik. (…. .…MEMEJAMKAN MATA DI TEMPAT DUDUKNYA BAGAI ORANG YANG BERMEDITASI)



ADEGAN 4



DUMBA: (MUNCUL MENGENDAP DARI SELA PEPOHONAN BANGKENGBULU’) Adduh, orang itu masih ada. Sepertinya ia tidur di atas tempat duduknya.


BORRA: Ia lagi menenangkan mabuknya dengan segelas kopi. Bagaimana kalau kau kesana mencari tahu apa ia membawa senjata?

DUMBA: Kalau ternyata ia tidak punya senjata, tetapi ia punya badik, bagaimana?

BORRA: Adduh. Senjata, badik, ia tonji. Sama saja, sama-sama membunuh.

DUMBA: O. K. Lalu?

BORRA: Kau geledah kantongnya, kalau tidak ada sesuatu yang kau temukan disana, periksa pinggangnya siapa tahu dipinggang ada badik. Kalau ternyata ada, pelan-pelan kau kau ambil lalu………

.DUMBA: (MEMOTONG) Ce..ce..ce..ce…Saya bukan orang bodoh. Saya belajar dari pengalaman, dikandangnya pak Tulang, tangan ini sudah pernah remuk. Apalagi mengambil badik dipinggang orang yang bernama Palingge. Bisa-bisa nyawa saya yang melayang. Teyaja’. Saya tidak mau.

BORRA: Mengapa takut?!

DUMBA: Saya tidak punya alasan untuk jadi pemberani. Kecuali seandainya saya berhasil menjadi aparat, tentu saja aku berani menghadapinya karena aku sudah tahu pasti tentang pasal berapa, ayat berapa, undang-undang tindak pidana apa, yang mengharuskan Palingge digeledah. Bahkan kalau perlu saya akan memborgol kakinya.

BORRA: Agrhhh… Tidak usah banyak cincong…! (TIBA-TIBATERDENGAR SUARA)

PALINGGE: Mudah-mudahan sekali waktu saudara menjadi aparat dan menjalankan hukum dengan adil dan jujur. Dan jangan mau menjadi Buaya, atau mahluk latah, atau binatang buas. Tidak punya hati. Badak-badak!

DUMBA : Kami tidak punya peluang untuk itu. Lebih aman jadi preman.

PALINGGE: Justru preman tidak pernah aman kecuali kalau kalian menjadi preman intelek yang terampil dan lincah menggarong.

DUMBA: Daeng Palingge. Sayap ucapanmu terasa sangat menyayat.

PALINGGE: Lantas kalau bukan preman intelek berdasi yang dibangga-banggakan lalu preman apa maumu ?

BORRA: Sahabatku Daeng Palingge dengarkan baik-baik. Kalau kami menyebut nama preman adalah semata karena saya dan Dumba tidak berhak memakai baju dinas atau baju seragam melainkan baju biasa. Yang artinya kami ini bukan pegawai Negeri, atau semacamnya. Tetapi bukan juga orang bebas yang tidak punya aturan. Kami ini manusia yang punya hak dan tanggung jawab.

PALINGGE: Bagus! Berarti saudara termasuk golongan…..

BORRA: (MEMOTONG) Kami, adalah pembenci golongan. Golongan apapun!

PALINGGE: Kalau kau mau hidup enak di negri ini, masuklah golongan, itu perlu. Supaya kau berdua punya identitas. Identitas itu penting saudara!

DUMBA: Memang penting bagi orang-orang palsu

PALINGGE: La ntas saudara mau jadi apa ?

DUMBA: Menjadi apa adanya

PALINGGE: Saudara pasrah rupanya?

DUMBA: Pasrah, ya tidak. Tetapi kami akan berusaha dan berusaha terus sampai datangnya Ratu Adil.

PALINGGE: Ratu adil (TERTAWA) Ternyata saudara-saudara ini tidak pernah membaca atau mendengar ucapan seorang Negarawan di negeri sendiri. Ia berkata:*)Ratu adil itu tidak ada.Ratu adil itu tipu daya ! Apa yang harus kita tegakkan bersama adalah hukum Adil Hukum adil adalah bintang pedoman di dalam prahara Bau anyir darah yang kini memenuhi udara menjadi saksi yang akan berkata: Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyatapabila cukong-cokong sudah menjarah ekonomi bangsa apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasalalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya. Jadi kau dan kau, jangan coba-coba menunggu ratu adil. Sebab ratu adil adalah kekejaman yang penuh muslihat dan sungguh menjijikkan.

BORRA: Lalu bagaimana dengan dirimu sendiri?

PALNGGE: Saya harus pandai-pandai memelihara kehidupan. Sebab dengan begitu saya akan terhindar dari badak-badak dan harimau atau buaya, dengan kata lain; bagi badak tak ada tempat untuk menusukkan tanduknya. Bagi harimau tak ada tempat untuk mencengkamkan kukunya atau bagi senjata tak ada tempat untuk menusukkan tajamnya. Begitulah seharusnya agar hidup tetap hidup dan takada tempat yang mengakibatkan kematian. (SUASANA JADI SEPI, IA PERLAHAN BERDIRI BERMAKSUD MENINGGALKAN TEMPAT)

BORRA: Saudara mau kemana?

PALINGGE: Melanjutkan perjalanan, menyusuri pematang.

DUMBA: Untuk apa?

PALINGGE: (PERLAHAN KEMBALI MENDEKATI DUM,BA DAN BORRA) Ia mesti mati malam ini juga!

DUMBA: Siapa orangnya?

PALINGGE: Apa saudara kenal dua pasang pengantin baru yang orang bilang tinggal dekat-dekat bukit ini?

DUMBA: Pengantin baru?

PALINGGE: Ya, pengantin baru.

BORRA: Kalau yang saudara maksud pengantin baru adalah yang betul-betul baru kawin, artinya baru satu dua hari, maka saya rasa saya tidak kenal. Tapi ada yang saya kenal, teman baik saya malah, sama-sama penggarap sawah dekat-dekat sini. Tapi mungkin bukan dia yang saudara maksud, sebab kawinnya sudah lama.

PALINGGE: Kenapa saudara tahu sudah lama?

BORRA: Karena perut isterinya sudah hampir ranum. Kelihatannya tinggal menunggu harinya.

PALINGGE: Terima kasih. (MEMELUK BORRA)

DUMBA: Kenapa terimakasih.

PALINGGE: Dialah orangnya.

DUMBA: Kenapa saudara pastikan.

PALINGGE: Memang dialah.

BORRA: Saudara ini apanya mereka?

PALINGGE: Lakinya, ipar saya. Isterinya adik kandung.

BORRA-DUMBA : (MENYAMBUT GIRANG) Oh.. selamatlah……….

PALINGGE: Tapi yang tepat tinggal mereka dimana?

BORRA: Jalan saja menyusuri kaki bukit sana itu. Kemudian kalau ketemu mata air mancur dan pohon beringin besar, di sekitar itulah. Ada jalan setapak keatas bukit. Di atas sanalah rumah mereka.

PALINGGE: Sekali lagi terima kasih. (PERGI DAN MENGHILANG DI TIKUNGAN)DUMBA : Hati-hati Pematangnya banyak lubang. Juga banyak yang masih baru. Berlumpur!

BORRA: Ternyata kakinya Daeng Palingge jauh lebih kokoh, dibanding dengan kakimu yang keseleo itu.

DUMBA: Jaga mulutmu kalau bicara sebab biasanya gara-gara mulut, pantat bisul jadi binasa.

BORRA: Saya bisa membayangkan kalau kaki sekokoh itu berjalan diatas tanah yang becek. Ia, laksana dua batang besi menikam-nikam bumi. Dahsyat.

DUMBA: Kita memang berbeda pandangan. Justeru pirasatku menaruh curiga kepada orang itu.

BORRA: Curiga bagaimana? Bukankah tadi kau dan aku menyambut girang kepadanya ?

DUMBA: Apa kau tidak ingat apa yang diucapkannya?

BORRA: Yang mana itu?

DUMBA: (MENIRU GAYA PALINGGE) Ia mesti mati malam ini juga!

BORRA: Kau ini. Curiga boleh tapi jangan menaruh buruk sangka yang bukan-bukan.

DUMBA: Melihat sinar matanya laki-laki itu menyimpan dendam, sepertinya malam ini adalah malam yang sudah lama ditung-tunggu. Aku pasti kalau laki-laki yang bernama Palingge, itu adalah seorang yang berada dalam posisi Tumasiri’.

BORRA: Artinya adik kandung dan iparnya itu silariang? Anynyala, begitu?

DUMBA: Saya yakin teman baikmu itu silariang dengan adik perempuannya Daeng Palingge, yang kini lagi mengandung. (BICARA SENDIRI) Perempuan. Sesungguhnya kau merupakan kembang di tengah halaman rumah. Wajah dari harga-diri dan kehormatan keluarga. Namun sayang, dikau justru menimbun hianat dalam rumah; minggat dengan laki-laki tak berhak. Malam ini dendam akan bicara. Daeng Palingge. Mengerikan.

BORRA: Agrrh biasa. Seorang laki-laki kesuatu tujuan yang bernama harga diri memang harus direbut kembali dari orang yang telah merampasnya. Asal jangan menjadi pak Tulang.

DUMBA: Semoga banjir darah tidak terjadi.

BORRA: Mengapa mesti kau yang takut?

DUMBA: Sedikitpun saya tidak takut., tapi ujung-ujungnya kita ikut terseret di dalamnya.

BORRA: Bagaimana mungkin? Kau jangan menghayal yang bukan-bukan.

DUMBA: Saya tidak menghayal, justeru hawatir karena kita yang kebetulan ronda malam ini. Polisi pasti melibatkan kita untuk menjadi saksi. Syukur-syukur kalau terhindar dari tuduhan bersekongkol.

BORRA: Itu kalau ada nyawa yang melayang, tapi kalau tidak?

DUMBA: Katakanlah tidak ada nyawa yang melayang, tetapi pasti kita tetap berurusan dengan polisi karena adanya kerusuhan. Apa lagi kalau ada darah yang tumpah.

BORRA: Kedengarannya kau begitu takut pada Polisi, padahal Polisi itu bukan kanibal, melainkan pelindung rakyat, Pengayom masyarakat.

DUMBA: Pertanyaannya adalah: Mengapa Laki-laki seberang itu bisa mengetahui tempat tinggal teman baikmu itu, di tengah malam begini? Apa jawabmu ?!

BORRA: Jawaban saya sederhana : Saya adalah si pantat bisul, yang tidak tahu apa-apa. Selesai !

DUMBA: Dan bisulmu yang bernanah itu akan diperas samapi berdarah-darah….Hah…ha…ha…(KEDUANYA KE BALAI-BALAI)PALINGGE : (DI ATAS JALAN SETAPAK) Mati ! Telah lama kutunggu malam ini (SEPERTI SANGAT LEGAH. IA KEMUDIAN BERPALING KEBELAKANG KEARAH GUBUK) Terima kasih kawanku Paronda. (MELANJUTKAN LANGKAHNYA LEBIH CEPAT. DI KANAN-KIRINYA SUARA KODOK DAN SUARA JENGKRIK BAGAI BUNYI MUSIK. IA MEMBELOK KEKIRI MENYUSURI JALAN SETAPAK SAMPAI MENGHILANG DARI PANDANGAN)

BORRA: Dilangit belum juga ada bintang Dumba.

DUMBA: Sepertinya bintang-bintang itu adalah mata Bidadari yang terlalu suci untuk memandang semua ini.

BORRA: Hmmmm…. Penyakit. Hayalan kembali meluncur di kegelapan malam.

DUMBA: Langit dan bumi seperti mulut raksasa, hitam dan sepi.

BORRA: Hmmm… gawat.

DUMBA: Seperti betul sebuah usul yang tak terelakkan untuk suatu kematian.



ADEGAN 5



PALINGGE : ( MUNCUL DI TENGAH DERASNYA SUARA MATA AIR YANG MENGALIR. SEBUAH GUBUK TIDAK JAUH DIDEPANNY. NYALA LAMPU MINYAK DARI DALAM GUBUK MENYUSUP DISELURUH DINDING-DINDING BOLONG, MENGIRIS LEMAH KEPEKATAN MALAM. IA MENCARI SESUATU UNTUK MENGINTIP. TAMPAK SEORANG LELAKI MEMBIMBING WANITANYA KE ATAS BALAI-BALAI YANG TENGAH BERGUMUL DENGAN KESAKITAN. LELAKI ITU PAMPAK PENUH KEKHAWATIRAN, IA MEMIJIT KEPALA, BETIS DAN LENGAN-LENGAN ISTERINYA. PALINGGE MENYAKSIKAN KEADAAN ITU, IA DI GIGIL OLEH DENDAM) Keduanya mesti mati malam ini !


IPAR: (MEMBIMBING ISTERINYA DARI DALAM BILIK KESEBUAH BALAI-BALAI) Kupanggil dukun!

ADIK: Jangan tinggalkan saya sendiri.

IPAR : Anak kita mesti lahir selamat. Dan kau. Kau mesti selamat.

ADIK: Jangan. Aku takut sendiri.

IPAR: (TUBUHNYA LEMAS, LONGSOR KESAMPING BALAI-BALAI) Aku yang salah. Mestinya kau berada diantara keluargamu. Dan tidak disini, sendiri diatas bukit yang sepi.

ADIK: Jangan bicara begitu (TERBANGKIT DARI KESAKITANNYA) Ingat. Jangan ulangi ucapan semacam itu. Aku minta.

IPAR: Tapi tidakkah memang demikian kenyataannya? Lihat betapa aku telah membenamkan engkau dalam kepedihan yang berketerusan. Kini pada saatnya dimana kesakitan yang kau alami mestinya kita rasakanberdua, telah engkau borong tanpa aku ikut serta di dalamnya. Sesungguhnya aku malu pada diriku sendiri.

ADIK: (BANGKIT MERAPATKAN TUBUHNYA PADA SUAMINYA, MENANGIS, TAPI IAPUN TERSENYUM) Tahukah engkau bahwa kebahagiaan tertinggi bagi wanita adalah ketika ia berada dalam kesakitan semacam ini. Aku telah dibekali kekuatan oleh ibuku ketika ia melahirkan adikku yang bungsu dan ini kudengar dibisikkannya kedalam telingaku. Engkau akan mengalaminya, dan pada saat itu akan engkau rasakan betapa bahagia itu beruntun-runtun datang di sela-sela kesakitanmu. Demikian ibu memesankan padaku.

PALINGGE: (MELUDAH DAN BERKATA PADA DIRINYA) Bahagia? Kau merusak arti kebahagiaan seorang wanita dengan penghianatan yang takdapat diampunkan.

IPAR: Aku panggil dukun. Kau dan anak kita mesti selamat.

ADIK: Dan kau sendiri?

IPAR : Kenapa aku?

ADIK: Keselamatanmu.

IPAR: Kenapa bicara begitu?

ADIK: Entahlah. Tapi…. Tapi aku tidak mau pisah dengan kau. Aku malah tidak merasa bakal ada apa-apa dengan diriku dan anak kita. Tapi kau……. Oh.. (TERSEDUH)

IPAR: (MENJAWAB PENUH KEKHAWATIRAN) Bagaimana tanpa dukun?

ADIK: Jangan pergi, aku merasa ada sesuau disaat kau akan melangkah keluar pintu itu. Aku…aku, oh entahlah (KEMBALI BERGUMUL DENGAN KESAKITAN) Jangan pergi. Biar lahir tanpa siapa-siapa. Aku sanggup aku…..

IPAR : Aku panggil dukun.

ADIK: Jangan!

IPAR: Mesti!

ADIK: Jangan!

IPAR: Dukun. Mesti dukun.

ADIK : Jangan!

IPAR : Mesti………

ADIK: Jangan…….

PALINGGE: (MENGINTIP …….. SUATU PERGUMULAN BATIN MENGGEMURUH DI DALAM DADANYA. IA MERASA PERLU CEPAT BERTINDAK SEBELUM IA DIDAHULUI OLEH KESAKITAN YANG TELAH MENJANGKAU-JANGKAU NYAWA ADIK PEREMPUANNYA. IA TIDAK BERSEDIA KESAKITAN ITU YANG MEMBUNUHNYA TETAPI MESTI DENGAN TANGANNYA SENDIRI.)

IPAR: Lihat engkau telah basah… Anak kita sudah akan lahir. Aku mesti panggil dukun ! (MERONTAK MELEPASKAN PELUKAN ISTERINYA, UNTUK MEMANGGIL DUKUN. MELONCAT MENEROBOS PINTU)

PALINGGE: (DENGAN TIDAK TERTAHANKAN KEDUA TANGANNYA MENERKAM LEHER BAJU LELAKI) Kau jangan pergi. Aku yang akan memanggil dukun. (BERLARI DAN BERLARI TERUS KEMBALI MENUJU POS RONDA…………….)

IPAR: Tuhan telah menolong kita isteriku.

ADIK: Ya. Tuhanku Beri aku kekuatan.

IPAR: Laki-laki sejati itu … Bagai malaikat penyelamat. Minta agar aku tidak meninggalkanmu. Semoga dukun akan datang secepatnya. Mari, aku bawa kau kedalam. (MEMBANGUNKAN ISTERINYA DARI BALAI-BALAI LALU MEMBIMBINGNYA MENUJU RUANGAN DALAM)



ADEGAN 6



BORRA: (MENDENGAR SESUATU) Siapa?!


PALINGGE: Saya.

DUMBA : Saya siapa!

PALINGGE : Yang tadi.

BORRA: Cepat betul? Ketemu tidak?

PALINGGE: Tolong, segera panggilkan dukun. Ia hampir melahirkan. (BERMAKSUD UNTUK PERGI…….)

DUMBA: Tunggu! Biasanya kalau badik sudah bicara, ujudnya pasti kematian. Lantas kenapa mesti dukun?

PALINGGE: Telah kuma’afkan diriku sendiri saudara Lompoi Sirikku, mingka lompoangngang tonji Pacceku!, Sari’battang.

DUMBA: Kalau begitu jangan khawatir, Ibuku adalah dukun di kampung ini…. (KEPADA BORA) Ternyata Siri’ berlumur dendam, lumpuh dan sirna oleh rasa Kemanusiaan.

PALINGGE: Terima kasih (PERGI BERLAWANAN ARAH DENGAN DUMBA).

BORRA: Saudaraku Palingge, engkau telah menjinakkan malapetaka menjadi kemenangan !(TERSENYUM SEORANG DIRI) Pacce ! Ya, Pacce !

(LAYAR TURUN) *Penggalan; SAJAK BULAN MEI (dibacakan Oleh penciptanya: Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998 )

“Langkah-Langkah Dalam Gerimis ” Karya : Rahman Arge, sengaja digarap menjadi naskah panggung berjudul : “CINCONG-CINCONG DALAM GERIMIS”. Hal ini saya lakukan adalah atas usulan pak Arge di tengah hadirin pada ultah DKM ke 27 di Aula Benteng Rotterdam Jl. Ujung pandang. Makassar

2 Desember 2009
JACOB MARALA