SEMUA NASKAH PENTAS DI BLOG INI TELAH DIPROTEKSI DAN TIDAK DAPAT DISALIN SECARA LANGSUNG

Himbauan

Mementaskan naskah di blog ini harus seizin penulis.

Selasa, 27 September 2011

Cerpen Rahman Arge: Langkah-Langkah Dalam Gerimis


Dipentaskan Dengan Judul
Cincong-Cincong
DALAM GERIMIS
Jacob Marala

SENIN TANGGAL 25 JULI 2011 PADA ULANG  TAHUN  DKM  KE 42 

Pemain :
                                                                                             
Palingge
Borra
Dumba                                                            
Kamase (Pemilik Warung)
Adik perempuan Palingge
Ipar, Palingge


SEBUAH PERKAMPUNGAN DI KAKI BUKIT
ADA POS RONDA. JUGA TERDAPAT WARUNG KOPI SEDERHANA.
DI ANTARA BANGUNAN TERDAPAT SEBUAH MEJA AGAK PANJANG, DUA BUAH BANGKU DAN SATU BUAH KURSI MENGHADAP PENONTON.
CUACA DINGIN DAN GERIMIS TURUN AGAK DERAS

BORRA, YANG SEDARI TADI DUDUK DISALAH SATU BANGKU, BERTEDUH DIBAWA PAYUNG KUMAL, ASIK MEMBACA KORAN SAMBIL MENIKMATI  SEGELAS KOPI HITAM DENGAN ROKOK BERASAP DI JARI TANGAN KANANNYA,  SEKALI-SEKALI BORRA TAMPAK GELISAH MEMPERBAIKI DUDUKNYA, DISEBABKAN OLEH BISUL YANG MEMBENGKAK DI PANTAT. BORRA’ MENENGOK KIRI DAN KANAN MENUNGGU  KALAU-KALAU ADA TEMAN RONDA  ATAU KENALAN YANG BAKAL LEWAT.
MAKLUM KANTONG LAGI KEMPES PADAHAL KOPI YANG TINGGAL SEPARUH GELAS, MESTI DI BAYAR SEBELUM MENINGGALKAN TEMPAT.


ADEGAN I


BORRA :
(MEMPERHATIKAN  JAM TANGANNYA)  Payah. Sudah tiga jam belum juga ada tanda-tanda….. Kemana mereka. (MENENANGKAN DIRI, KEMBALI MEMBACA DAN MEMBOLAK BALIK KORAN……………………………….)

DUMBA :
(JALAN TERPINCANG-PINCANG MEMAKAI MANTEL PLASTIK TUA. SEBELUM DUDUK, IA MINTA KOPI SATU GELAS KEPADA PEMILIK WARUNG) Satu gelas !

BORRA :
(……BERHENTI MEMBACA, SEJENAK MENGAMATI ORANG YANG SEMENTARA BERDIRI DI DEPANNYA) Sepertinya saya kenal saudara.


DUMBA’  :
Mungkin. Yang jelas saya adalah penduduk asli, Bangkeng Bulu’

BORRA’
Dumba’ !


DUMBA’ :   
Borra’ ?. . . . (SALING BERANGKULAN PENUH RASA RIANG CAMPUR HARU) Akhirnya kita ketemu kembali sahabat.

BORRA’ :
Ternyata kau masih hidup

DUMBA :
Ya, tentu. Sebab kalau diantara kita sudah ada yang mati, pasti tidak ada lagi pertemuan.  (KEDUANYA TERTAWA HABIS SAMBIL DUDUK. MASING-MASING MENENANGKAN PERASAANNYA……MEMPERHATIKAN KESEKELILING…)
Rasa-rasanya kampong kita masih seperti dulu.

BORRA :
Itulah bukti kalau diantara kita berdua tak ada dusta. Bukankah kau sendiri pernah berjanji dalam surat, akan pulang asal bangkeng bulu masih tetap perawan.

DUMBA’ :
Pepatah mengatakan, Dusta itu, mengekor sampai keliang kubur.

RORRA’ :
 Lihat,  bukit yang bernama Bangkeng Bulu’ masih tetap ditempat, tidak kemana-mana.

DUMBA’ :
Itu karena ia tidak punya kaki.

BORRA’ :
Ia, ya ?
Kau masih ingat ? Ketika kita masih kecil di tempat inilah kau selalu menikmati Tedong Pallubasana, Deng Rowa.

DUMBA :
 Dan kalau tidak salah di seberang sana, kau sendiri tidak pernah tidak, setiap pagi manikmati songkolo’ le’lenna Deng Ngai. (KRDUANYA TERTAWA, BORRA MENUTUP MUKANYA DENGAN KORAN) Aku tahu kalau kau menutup mukamu.
(UCAP BERSAMA) Karena kau dan aku selalu dikejar-kejar hutang  (TAWA GELIPUN TERDENGAR KEMBALI)

KAMASE :
(DATANG MEMBAWA DAN MELETAKKAN SEGELAS KOPI DI ATAS MEJA)

DUMBA :
 (KEPADA PELAYAN) Dan kau pasti cucunya daeng Rowa ?.

KAMASE :
Bukan Om. Saya adalah anaknya almarhum, Bos Tulang (KEMBALI KE WARUNGNYA)

BORRA :
Ya, satu-satunya darah daging almarhum pak Tulang yang selamat.

DUMBA :
Maksudmu ?

BORRA :
Pak Tulang telah tewas beberapa tahun lalu

DUMBA :
Tewas ?  Memangnya pernah terjadi perang ?

BORRA :
 Pak Tulang, yang menegakkan Siri’, telah mencincang lelaki yang membawa lari anak gadisnya, ya, kakak si pemuda itu lah.

DUMBA :
Yah, seharusnya memang begitu. Tindakan pak Tulang saya sokong.

BORRA :
Tetapi ujung-ujungnya menimbulkan banjir darah. Mereka saling bunuh-membunuh, yang sebenarnya tidak perlu terjadi.

DUMBA :
Kenapa mesti saling membunuh ?  Bukankah pak Tulang dipihak yang benar ?

BORRA :
Begitula kalau malapetaka mau terjadi, pak Tulang yang diliputi rasa dendam boleh dibilang menyalahi aturan main.
DUMBA :
Begitukah ?...... Terus ?

BORRA :
  Sebagai “Tumasiri” tidak mesti mengejar dan menikam lelaki “Tumanynyala” yang sudah melemparkan songkoknya menyeberang pagar. Apalagi lelaki itu sudah berlindung disebuah rumah tetangga, yang ternyata keluarganya malah.

DUMBA :
Oh…….Lantas ?

BORRA :
Apa mau dikata, seluruh keluarga lelaki tumanynyala itu, balik tersinggung merasa harga diri mereka diinjak-injak. Merasa nipakasiri’. Akhirnya antara keluarga dengan keluarga saling tikam menikam. Cincang mencincang dan habislah  kedua belah pihak kecuali si pemuda pemilik warung itu.  

DUMBA’ :
Kasihan pak Tulang.

BORRA :
Apa boleh buat.

DUMBA’ :
 Ketika kejadian itu berlangsung saudara Borra’, dimana ?

BORRA’ :
Saya menyaksikan langsung peristiwa itu dan
tatkala mayat-mayat bergelimpangan disana-sini, saya lari bersembunyi, bukan karena takut, tetapi karena saya tiba-tiba teringat saudaraku yang bernama Dumba’

DUMBA’ :
Apa hubungannya ?

BORRA’ :

Soalnya ada berita yang pernah saya baca dikoran kalau seorang pemuda rantau bernama Dumba, dimutilasi  menjadi 12 potong..

DUMBA :
Agrh..kau ini. Kamu salah baca saudara. Bukan Dumba tapi Dungga, dari India, pemuda keturunan Kolokatta, berkewarganegaraan Tambi.

BORRA’
Tapi bagaimanapun juga, kau dan aku harun bersyukur, sebeb kalau dugaanku itu           benar maka kita berdua tidak mungkin ketemu lagi. Iya tokh ?…(KEDUANYA TERTAWA. DUMBA MENGANGKAT TANGANNYA TANDA SETUJU, DAN SALAM CES PUN BERLANGSUG)

Ngomong-omong sejak kapan kau balik menginjakkan kaki di Bangkeng Bulu ini ?

DUMBA’ :
Sejak aku merindukan kampung halamanku.
Oh ya Bagaimana dengan tetua kita yang lain ?

BORRA :
Daeng Rowa, si penjual Pallubasa, Daeng Ngai, si penjual Songkolo’,Daeng Pajja, si penjual Putu Mayang, Tetta Baco, si penjual bassang, Puang Bantong si penjual Ballo, Tuan Abu, sipenjual Salem, Mister Lantoro yang sakti, semuanya sudah lama K.O.
(SUASANA JEDAH SEJENAK)

DUMBA :
Kalau diingat-ingat, diantara mereka ada saja yang begitu besar jasanya kapada kita.

BORRA :
 Betul. Terutama bila kita tertimpa musibah

DUMBA :
 Ya, seperti aku sekarang ini. Andai kata Mister Lantoro masih hidup, kakiku yang keseleo ini tidak perlu berhubungan dengan Medis (SAMBIL MEMPERLIHATKAN KAKINYA DI ATAS MENJA YANG DIBALUT DENGAN PERBAN)  Yang begini kan tidak masuk akal toch ?

BORRA :
O..memang salah. Keseleo tidak perlu diperban. Ini harus di urut (MEMEGANG LALU MENGURUT  KAKI YANG KESELEO  SEKETIKA ITU PULA DUMBA MENJERIT LANTANG  SETINGGI LANGIT )  Sebenarnya kakimu ini tidak apa-apa, cuma perasaanmu saja yang sakit.

DUMBA :
(BELINSATAN SAMBIL MERAJUK) Kau masih seperti dulu senang menyakiti orang. Seumur-umur saya belum pernah merasakan kenyerian seperti ini. Sungguh, kalau saja kau tidak kuanggap saudaraku, akan kuajak kau berkelahi habis-habisan.

BORRA :
Demi kebaikanmu saudaraku (KEMBALI MENGURUT KENCANG KAKI DUMBA, TERAKAN PUN MELANGIT)

DUMBA :
(TERBIRIT MENINGGALKAN TEMPAT UNTUK MENGUSIR RASA SAKITNYA)  Akan kupukul kau sampai gepeng seperti pisang peppe.

BORRA :
 (MERANGKUL SAHABATNYA) Alaaaah kau ini sudah setua begini masih cengeng. Percaya tidak ?  Kau masih sangat beruntung. tidak seperti aku. (MEMPERLIHATKAN BISUL DI BAHAGIAN PANTATNYA) He. Lihat, bisulku ini, sudah seminggu lamanya belum sembuh-sembuh juga. Tapi sayakan tidak cengeng (TIBA-TIBA DUMBA MENAMPAR BISULNYA.) Adaooww Mengapa ditampar ? (KARENA SAKITNYA IA BLINGSATAN………..)

DUMBA :
Biar cepat sembuh, dongo’ !!

BORRA :
Ia, tapi jangan ditampar. Kalau mau menampar, ini pipiku, pilih yang kanan atau kiri. Tampar. Aduuuuh…...

DUMBA :
Alaah… masih seperti anak kecil empat puluh tahun silam

BORRA :
Ini bukan kecengengan tapi… tapi  sakitnya sakit ini…… sungguh saya takdapat  melukiskannya dengan kata-kata.

DUMBA :
Ahgrrr… sudahlah, lupakan bisulmu itu seperti aku melupakan sakitnya kaki yang keseleo ini. (MELIHAT JAM) sekarang sudah hampir pukul sebelas. Demi keamanan, biar aku temani kau ronda malam ini, Kita perlu jalan memeriksa kampung ini, siapa tahu orang jahat sudah membongkar rumah warga.

BORRA :
Tunggu dulu teman kita yang lain.

DUMBA :
Siapa-siapa sajakah ?

BORRA :
Deng Burejje’, dan Sampara’ Nillong.

DUMBA :
Allah. Tidak perlu.  Meraka pasti sudah ngorok. Sejak kecil saya sudah tahu persis
kawan kita itu.


BORRA DAB DUMBA’ TIBA-TIBA  MELIHAT BAYANGAN YANG MENCURIGAKAN…………..)

ADEGAN 2


BORRA :
Siapa ?!

PALINGGE :
Saya.

DUMBA :
Saya siapa ?

PALINGGE :
(MENGELUARKAN KOTAK ROKOK DARI SAKUNYA) Apa saudara punya geretan

BORRA :
Kalau iya, kenapa ?!

PALINGGE :
( MENGAMBIL SEBATANG ROKOK ) Dari tadi saya mau merokok tetapi geretan saya hilang diperjalanan. (DAN BATANG ROKOK ITUPUN LANGSUNG MENEMPATI POSISINYA DIKEDUA BIBIR MERAH KEUNGU-UNGUAN)

BORRA :
(MENYALAKAN GERETANNYA PERSIS DIUJUNG ROKOK YANG SEDANG TERTANCAP DIBIBIR) Sepertinya saudara kedinginan ?

PALINGGE :
Ia. Betul. Terima kasih.

DUMBA :
Saudara ini dari mana ?

PALINGGE :
Saya dari kampung sebelah. Sebelahnya sebelah. Oh ya, kenalkan : Palingge.

BORRA :
Nama saya Borra

DUMBA :
Dumba.

LAPALINGGE :
Dingin ini memaksa saya mencari teman
(KETIGANYA BERJALAN MENUJU TEMPAT DUDUK. MEROGO KANTONG MANTEL BLUDRUNYA DAN MENGELUARKAN BOTOL MINUMAN ALKOHOL LALU DUDUK DIANTARA BORRA DAN DUMBA. MENENGGAK BEBERAPA KALI MINUMANNYA)
Demi persaudaraan, silahkan (KEPADA DUMBA DAN BORRA)

DUMBA :
Kami berdua tidak lagi tertarik dengan minuman keras

PALINGGE :
Hah…..hah…hah…. Minuman ini samasekali tidak keras. Lembut, sangat lembut (MENENGGAK LAGI DAN LAGI) Hm…………. Ayolah kawan, enak, bikin hangat badan.

BORRA :
Maaf  saya sudah lama insyaf.

PALINGGE :
Insyaf  ?  Saudara pernah berlumuran dosa ?

BORRA :
Berlumuran dosa ?  saya kira tidak, karena seingat saya tidak pernah berkubang disitu.

PALINGGE :
Dilihat dari potongan, saudara memang bisa masuk sorga.

BORRA :
Dumba’. kata-kata seperti itu baru saya dengar. Bagus.

PALINGGE :
Yah.. karena kita baru ketemu bukan ?  Kalau saudara ? (KEPADA DUMBA) Sudah lama juga insaf ?

DUMBA :
Rasanya saya susah untuk menjawab, karena batas antara baik dan buruk boleh dibilang tidak berjarak.

PALINGGE :
Hm…Saudara cocok menjadi seorang Ustas, yang suka mengeluarkan Fatwah. Yah…. Justru paling gampang masuk sorga.

DUMBA :
Kanapa saudara bisa tahu ?  Apa saudara seorang ahli nujum ?

PALINGGE :
Bukan. Tetapi mendengar budi bahasa saudara berdua, pirasatku mengatakan kalau saudara-saudara adalah orang baik. Orang baik itu pasti masuk sorga. Apa lagi kalau
 Saudara-saudara meyakini diri sebagai orang yang benar. Uhgr…. Langsung !

DUMBA :
Maaf. Apakah saudara tahu kalau seseorang akan di tangkap kalau kedapatan minum minuman keras ?

PALINGGE :
Di tangkap ?  Hah…hah… hanya orang yang bersalah yang bisa ditangkap bahkan kalau perlu ia dibunuh !. Tapi saya-kan tidak bersalah. Jadi siapa yang mau menangkap saya ?

DUMBA :
Semua orang tahu kalau Negara kita ini punya aturan, punya undang-undang.

PALINGGE :
(SINIS) Semakin banyak larangan,  rakyat semakin menderita. Semakin banyak undang-undang atau semacamnya, semakin merajalela pencurian dan perampokan.

BORRA :
Hati-hatilah kalau berbicara.

PALINGGE :
Kenyataan tidak dapat dibohongi. Dan saya yakin saudara-saudara sendiri dapat merasakannya, bahkan saudara sudah mengalaminya.


DUMBA :
Sesungguhnya orang ini sudah mabuk, hanya ia tidak menyadarinya

BORRA :
Dan  yang pasti, Polisi akan menangkap siapapun yang kedapatan minum minuman keras.

PALINGGE :
(MULAI MABUK) Tidak !  tidak ada  penangkapan  malam ini.    

DUMBA :
Mengapa tidak ?!

PALINGGE :
(DENGAN SINIS) Ya, karena yang ada cuma dua orang ronda bukan ? Borra dan Dumba’, lagi pula  aku tidak pernah mabuk karena minuman. Tetapi karena mereka telah merampas dan merusak sebahagian jiwaku, sehingga aku jadi begini.

BORRA :
Mereka, siapa ?

PALINGGE :
Jangan munafik, nanti tidak masuk sorga.

DUMBA :
Kami tidak mengerti maksud saudara.

PALINGGE :
Ketika nenek moyang kita berada dipuncak kejayaannya, rakyatnya bagaikan hidup didalam Firdaus. Tepi setelah penjajah muncul dan lahir di negeri ini, Firdaus ditelan habis oleh mereka. Penjajah-penjajah itu meruntuhkan semua benteng-benteng kejayaan. Mereka merampas seluruh isi firdaus dan rakyat yang masih bertahan hidup penuh dengan penderitaan. Disamping menderita karena dirampas kemerdekaannya, juga karena hak-nya dirampok secara berjamaah. Dan akibatnya Orang menjadi nekat untuk berbuat apa saja.  Untuk melupakan semua itu, …  (MENENGGAK MINUMAN) Ini, jalan terbaik. Sebuah jalan keluar untuk melupakan segala sesuatu yang menyakitkan hati. (TAMPAK OLENG)

BORRA :
Haruskah seperti itu ?

PALINGGE :
Mau bagaimana lagi ? Mau berkoar-koar menuntut Keadilan ? Jangan coba-coba, kalian bakal ditangkap dan musnahlah harapanmu masuk sorga ha ha ha……

DUMBA :
(KEPADA BORRA’) Bicaranya sudah ngelantur

PALINGGE :
Kukatakan terus terang. Aku adalah mantan narapidana kelas bulu, karena memukul seorang teman yang kurang ajar sampai berdarah-darah. Orang itu kebetulan keluarga polisi, yang katanya penegak keadilan. Tapia apa yang terjadi ?  Di dalam sel justeru perkara saya direkayasa.

BORRA :
Maksud saudara ?

PALINGGE :
Yang benar menjadi salah. Yang salah menjadi benar.

DUMBA :
Lalu begaimana nasib saudara ?

PALINGGE :
Saya keluar sel setelah menyogok petugas atas nama penangguhan. Dengan catatan perkara jalan terus. Lanjut kepengadilan.

BORRA’ :
Mustinya saudara sudah bebas setelah menyogok petugas.

PALINGGE :
(KETAWA) Seorang yang menjalani proses hukum, pastikan statusnya disaat itu bukan lagi sebagai manusia. Ia bukan lagi subyek tetapi berubah menjadi obyek.

BORRA’ + DUMBA’
Memuakkan. Sungguh-sungguh memuakka

PALINGGE :
(MUNTAH) ..........Aku muntah bukan karena mabuk tapi memang karena aku muak !

KAMASE :
DATANG MENYODORKAN AIR MINUM, DALAM  MOK.
Air, adalah minuman yang tak pernah membosankan.

PALINGGE :
Siapa namamu anak muda ?

KAMASE :
Nama saya, Kamase. (KEMBALI KE WARUNGNYA)

                                                                BORRA :
(MENDEKATI PALINGGE) Saudara Palingge, kami mau ronda dulu siapa tahu disekitar kampung ini, sudah kedatangan tamu yang tidak diundang.

P0ALINGGE :
Saya tersinggung, saya adalah tamu yang tidak diundang

DUMBA :
Maaf, maksud kami siapa tahu kalau-kalau sudah ada pencuri berkeliaran disekitar kampung ini. Permisi...

PALINGGE :
Kejahatan terjadi bukan hanya karena niat pelakunya, tapi juga karena menghilangnya Firdaus disetiap hati manusia. Waspadalah ! waspadalah !  Ha…ha….ha.
(SEASANA HENING)



ADEGAN 3



KAMASE :
(MENYODORKAN PELINDUNG KEPALA ATAU SARAUNG)
Udara tengah malam begini tidak baik bagi kesehatan, Daeng.

PALINGGE :
Duduklah, temani aku disini.

KAMASE :
Bisa, tapi jangan lama, Daeng

PALINGGE :
 Saya ada disini untuk satu tujuan (MENGELUARKAN BADIK BERSARUNGNYALALU MEMPERLIHATKAN GERAKAN MENGGOROK LEHER)

PELAYAN BISU :
Waduh. Maaf daeng. Saya tidak mau ikut campur.

PALINGGE :
Kalau begitu jawab pertanyaanku. Apa ada orang baru di kampong ini ?

KAMASE :
Saya kira yang paling tahu, adala kedua orang ronda itu, Daeng. Daeng Borra dan Daeng Dumba’

PALINGGE :
Terima asih…. (MENGELUARKA BANYAK UANG DARI SAKUNYA) Ini untuk harga dua gelas kopi, dan lebihnya buat tambah modal usahamu

KAMASE :
Terima Kasih. Daeng (MENINGGALKAN TEMPAT )

PALINGGE :
MENGAMBIL KORAN YANG DITINGGAL BORRA : IA LALU MEMBACA PUISI RENDRA, YANG TERDAPAT DALAM KORAN TSB.

*)Ratu adil itu tidak ada.
Ratu adil itu tipu daya !
Apa yang harus kita tegakkan bersama
adalah hukum Adil
Hukum adil adalah bintang pedoman di dalam prahara
Bau anyir darah yang kini memenuhi udara
menjadi saksi yang akan berkata :
Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat
apabila cukong-cokong sudah menjarah ekonomi bangsa
apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan
maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa
lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya.

(SEOLAH IA TUJUKAN KEPADA KAMASE YANG LAGI BERADA DI DALAM WARUNGNYA) Jadi kau jangan coba-coba menunggu ratu adil, sebab ratu adil adalah kekejaman yang penuh muslihat dan sungguh menjijikkan. (MENGHEMPASKAN KORAN ITU DAN MENINGGALKAN TEMPAT)



ADEGAN 4



BORRA :
(BERPAPASAN DI JALAN) Saudara mau kemana ?

PALINGGE :
Melanjutkan perjalanan, menyuisuri pematang.

DUMBA :
Untuk apa ?

PALINGGE :
(PERLAHAN KEMBALI  MENDEKATI DUM,BA DAN BORRA) Ia mesti mati malam ini juga !

DUMBA :
Siapa orangnya ?

PALINGGE  :
Apa saudara kenal dua pasang pengantin baru yang orang bilang tinggal dekat-dekat bukit ini ?

DUMBA :
Pengantin baru ?

PALINGGE :
Ya, pengantin baru.

BORRA :
Kalau yang saudara maksud pengantin baru adalah yang betul-betul baru kawin, artinya baru satu dua hari, maka saya rasa saya tidak kenal.
Tapi ada yang saya kenal, teman baik saya malah, sama-sama penggarap sawah dekat-dekat sini. Tapi mungkin bukan dia yang saudara maksud, sebab kawinnya sudah lama

PALINGGE :
Kenapa saudara tahu sudah lama ?

BORRA :
Karena perut isterinya sudah hampir ranum. Kelihatannya tinggal menunggu harinya.

PALINGGE :
Terima kasih. (MEMELUK BORRA)

DUMBA :
Kenapa terimakasih

PALINGGE :
Dialah orangnya

DUMBA :
Kenapa saudara pastikan

PALINGGE :
Memang dialah

BORRA :
Saudara ini apanya mereka ?

PALINGGE :
Lakinya, ipar saya. Isterinya adik kandung.

BORRA-DUMBA :
(MENYAMBUT GIRANG)  Oh.. selamatlah……….

PALINGGE :
Tapi yang tepat tinggal mereka dimana ?

BORRA :
Jalan saja menyusuri kaki bukit sana itu. Kemudian kalau ketemu mata air mancur dan pohon beringin besar, di sekitar itulah. Ada jalan setapak keatas bukit.
Diatas sanalah rumah mereka.(DUMBA’,  MENUJU WARUNG UNTUK MEMBAYAR HARGA 2 GELAS MINUMAN KOPI, TAPI DITOLAK OLEH KEMASE, DENGAN ALASAN TELAH DILUNASI OLEH PALINGGE)

PALINGGE :
Sekali lagi terima kasih. (PERGI DAN MENGHILANG DI TIKUNGAN)

DUMBA :
Terima kasih juga untuk 2 gelas harga kopi. (MENERIAKI PALINGGE) Hati-hati ! Pematangnya banyak lubang, banyak juga yang masih baru. Berlumpur !

BORRA :
Ternyata kakinya Daeng Palingge jauh lebih kokoh, dibanding dengan kakimu yang keseleo itu.

DUMBA :
Jaga mulutmu kalau bicara sebab biasanya gara-gara mulut,  pantat bisul jadi binasa.

BORRA :
Saya bisa membayangkan kalau kaki sekokoh itu berjalan diatas tanah yang becek. Ia, laksana dua batang besi menikam-nikam bumi. Dahsyat.

DUMBA :
Kita memang berbeda pandangan. Justeru pirasatku menaruh curiga kepada orang itu..

BORRA :
Curiga bagaimana ?  Bukankah tadi kau dan aku menyambut girang kepadanya ?

DUMBA :
Apa kau tidak ingat apa yang  diucapkannya ?

BORRA :
Yang mana itu ?

DUMBA :
(MENIRU  GAYA  PALINGGE) Ia mesti mati malam ini juga !

BORRA :
Kau ini. Curiga boleh tapi jangan menaruh buruk sangka yang bukan-bukan.

DUMBA :
Melihat sinar matanya laki-laki itu menyimpan dendam, sepertinya malam ini adalah malam yang sudah lama ditung-tunggu. Aku pasti kalau laki-laki yang bernama Palingge, itu adalah seorang yang berada dalam posisi Tumasiri’

BORRA :
Artinya adik kandung dan iparnya itu silaring ?  Anynyala, begitu ?

DUMBA :
Saya yakin teman baikmu itu  silariang dengan adik perempuannya Daeng Palingge, yang kini lagi mengandung. (BICARA SENDIRI) Perempuan. Sesungguhnya kau merupakan kembang di tengah halaman rumah. Wajah dari harga-diri dan kehormatan keluarga. Namun sayang, dikau justru menimbun hianat dalam rumah; minggat dengan laki-laki tak berhak.  Malam ini dendam akan bicara. Daeng Palingge.  Mengerikan.

BORRA :
Agrrh biasa. Seorang laki-laki kesuatu tujuan yang bernama harga diri memang harus direbut kembali dari orang yang telah merampasnya. Asal jangan menjadi pak Tulang.

DUMBA :
Semoga banjir darah tidak terjadi.

BORRA :
Mengapa mesti kau yang takut ?

DUMBA :
Sedikitpun saya tidak takut., tapi ujung-ujungnya kita ikut terseret di dalamnya.

BORRA :
Bagaimana mungkin ? Kau jangan menghayal yang bukan-bukan.

DUMBA :
Saya tidak menghayal, justeru hawatir karena kita yang kebetulan ronda malam ini. Polisi pasti melibatkan kita untuk menjadi saksi. Syukur-syukur kalau terhindar dari tuduhan bersekongkol

BORRA :
Itu kalau ada nyawa yang melayang, tapi kalau tidak ?

DUMBA :
Katakanlah tidak ada  nyawa yang melayang,  tetapi pasti kita tetap berurusan dengan  polisi karena adanya kerusuhan. Apa lagi kalau ada darah yang tumpah.

BORRA :
Kedengarannya kau begitu takut pada Polisi, padahal Polisi itu bukan kanibal, melainkan pelindung rakyat, Pengayom masyarakat, katanya.

DUMBA :
Pertanyaannya adalah: Mengapa Laki-laki seberang itu bisa mengetahui tempat tinggal teman baikmu itu, di tengah malam begini ?  Apa jawabmu ?!

BORRA :
Jawaban saya sederhana : Saya adalah si pantat bisul, yang tidak tahu apa-apa. Selesai !.

DUMBA :
Dan bisulmu yang bernanah itu akan diperas terus oleh petugas, samapi berdarah-darah….Hah…ha…ha….
(KEDUANYA KEBALAI-BALAI …………………………)

PALINGGE :
(DI ATAS JALAN SETAPAK)  Mati ! Telah lama kutunggu malam ini (SEPERTI SANGAT LEGAH. IA KEMUDIAN BERPALING KEBELAKANG KEARAH GUBUK)  Terima kasih kawanku Paronda. (MELANJUTKAN LANGKAHNYA LEBIH
CEPAT. DI KANAN-KIRINYA SUARA KODOK DAN SUARA JENGKRIK BAGAI BUNYI MUSIK. IA MEMBELOK KEKIRI MENYUSURI  JALAN SETAPAK SAMPAI MENGHILANG DARI PANDANGAN)

BORRA :
Dilangit belum juga ada bintang Dumba.

DUMBA :
Sepertinya bintang-bintang itu adalah mata Bidadari yang terlalu suci untuk memandang semua ini.

BORRA :
Hmmmm…. Penyakit. Hayalan kembali meluncur dikegelapan malam.

DUMBA :
Langit dan bumi seperti mulut raksasa, hitam dan sepi

BORRA :
Hmmm… gawat

DUMBA :
Seperti betul sebuah usul yang tak terelakkan untuk suatu kematian.


ADEGAN 5


PALINGGE :
( MUNCUL DI TENGAH DERASNYA SUARA MATA IAR YANG MENGALIR. SEBUAH GUBUK TIDAK JAUH DIDEPANNY. NYALA LAMPU MINYAK DARI DALAM GUBUK MENYUSUP DISELURUH DINDING-DINDING BOLONG, MENGIRIS LEMAH KEPEKATAN MALAM. IA MENCARI SESUATU UNTUK MENGINTIP. TAMPAK SEORANG LELAKI MEMBIMBING WANITANYA KE ATAS BALAI-BALAI YANG TENGAH BERGUMUL DENGAN KESAKITAN. LELAKI ITU PAMPAK PENUH KEKHAWATIRAN, IA MEMIJIT KEPALA, BETIS DAN LENGAN-LENGAN    ISTERINYA. PALINGGE MENYAKSIKAN KEADAAN ITU, IA DI GIGIL OLEH DENDAM) Keduanya mesti mati malam ini !



IPAR :
(MEMBIMBING ISTERINYA DARI DALAM BILIK KESEBUAH BALAI-BALAI) Kupanggil dukun !
ADIK:
Jangan tinggalkan saya sendiri.

IPAR :
Anak kita mesti lahir selamat. Dan kau. Kau mesti selamat

ADIK :
Jangan. Aku takut sendiri.

IPAR :
(TUBUHNYA LEMAS, LONGSOR KESAMPING BALAI-BALAI)  Aku yang salah. Mestinya kau berada diantara keluargamu. Dan tidak disini, sendiri diatas bukit yang sepi.

ADIK :
Jangan bicara begitu (TERBANGKIT DARI KESAKITANNYA)  Ingat. Jangan ulangi ucapan semacam itu. Aku minta.

IPAR :
Tapi tidakkah memang demikian kenyataannya ?
Lihat betapa aku telah membenamkan engkau dalam kepedihan yang berketerusan. Kini pada saatnya dimana kesakitan yang kau alami mestinya kita rasakan berdua, telah eng
kau borong tanpa aku ikut serta di dalamnya. Sesungguhnya aku malu pada diriku sendiri.

ADIK :
(BANGKIT MERAPATKAN TUBUHNYA PADA SUAMINYA, MENANGIS, TAPI IAPUN TERSENYUM)  Tahukah engkau bahwa kebahagiaan tertinggi bagi wanita adalah ketika ia berada dalam kesakitan semacam ini. Aku telah dibekali kekuatan oleh ibuku ketika ia melahirkan adikku yang bungsu dan ini kudengar dibisikkannya kedalam telingaku. Engkau akan mengalaminya, dan pada saat itu akan engkau rasakan betapa bahagia itu beruntun-runtun datang di sela-sela kesakitanmu. Demikian ibu memesankan padaku.

PALINGGE :
(MELUDAH DAN BERKATA PADA DIRINYA)  Bahagia?  Kau merusak arti kebahagiaan seorang wanita dengan penghianatan yang takdapat diampunkan.

IPAR :
Aku panggil dukun. Kau dan anak kita mesti selamat

ADIK :
Dan kau sendiri ?

IPAR :
Kenapa aku ?
ADIK :
Keselamatanmu.

IPAR :
Kenapa bicara begitu ?

ADIK :
Entahlah. Tapi…. Tapi aku tidak mau pisah dengan kau. Aku malah tidak merasa bakal ada apa-apa dengan diriku dan anak kita. Tapi kau……. Oh..  (TERSEDUH)

IPAR :
(MENJAWAB PENUH KEKHAWATIRAN) Bagaimana tanpa dukun ?

ADIK :
Jangan pergi, aku merasa ada sesuau disaat kau akan melangkah keluar pintu itu. Aku…aku, oh  entahlah (KEMBALI BERGUMUL DENGAN KESAKITAN) Jangan pergi. Biar lahir tanpa siapa-siapa. Aku sanggup aku…..

IPAR :
Aku panggil dukun

ADIK :
Jangan !

IPAR :
Mesti !

ADIK :
Jangan !

IPAR :
Dukun. Mesti dukun.

ADIK :
Jangan !

IPAR :
Mesti………

ADIK :
Jangan…….

PALINGGE :
(SEJAK TADI MENGINTIP…….. SUATU PERGUMULAN BATIN MENGGEMURUH DI DALAM DADANYA. IA MERASA PERLU CEPAT BERTINDAK SEBE
LUM IA DIDAHULUI OLEH KESAKITAN YANG TELAH MENJANGKAU-JANGKAU NYAWA ADIK PEREMPUANNYA. IA TIDAK BERSEDIA KESAKITAN ITU YANG MEMBUNUHNYA TETAPI MESTI DENGAN TANGANNYA SENDIRI.)

IPAR :
Lihat engkau telah basah…………Anak kita sudah akan lahir. Aku mesti panggil dukun !
(MERONTAK MELEPASKAN PELUKAN ISTERINYA, UNTUK MEMANGGIL DUKUN. MELONCAT MENEROBOS PINTU)

PALINGGE :
(DENGAN TIDAK TERTAHANKAN KEDUA TANGANNYA MENERKAM LEHER BAJU LELAKI)
Kau jangan pergi. Aku yang akan memanggil dukun. (BERLARI  DAN BERLARI TERUS KEMBALI MENUJU  POS RONDA…………….)

IPAR :
Tuhan telah menolong kita isteriku.

ADIK :
Ya. Tuhanku Beri aku kekuatan.

IPAR :
Laki-laki sejati itu … Bagai malaikat penyelamat. Minta agar aku tidak meninggalkanmu. Semoga dukun akan datang secepatnya. Mari, aku bawa kau kedalam. (MEMBANGUNKAN ISTERINYA DARI BALAI-BALAI LALU MEMBIMBINGNYA MENUJU RUANGAN DALAM)



ADEGAN 6



BORRA
(MENDENGAR SESUATU) Siapa ?!

PALINGGE :
Saya

DUMBA :
Saya siapa !


PALINGGE :
Yang tadi

BORRA :
Cepat betul ? Ketemu tidak ?

PALINGGE :
Tolong, segera panggilkan dukun. Ia hampir melahirkan………... (BERMAKSUD UNTUK PERGI…….)

DUMBA :
Tunggu ! Biasanya kalau badik sudah bicara, ujudnya pasti kematian. Lantas kenapa mesti dukun ?

PALINGGE :
Telah kuma’afkan diriku sendiri saudara
Lompoi Sirikku, mingka lompoangngang tonji Pacceku !

DUMBA :
Kalau begitu jangan khawatir, Ibuku adalah dukun di kampung ini…. (MEMANGGIL DUKUN)

LAPALINGGE :
Terima kasih (PERGI BERLAWANAN ARAH DENGAN DUMBA)

BORRA :
Saudaraku  Palingge ! engkau telah menjinakkan malapetaka menjadi kemenangan !
(TERSENYUM SEORANG DIRI) 



(LAYAR TURUN)


SEKIAN

*Penggalan;  SAJAK BULAN MEI (dibacakan Oleh penciptanya: Rendra di DPR pada tanggal 18 Mei 1998 )
“ Langkah-Langkah Dalam Gerimis ” Karya : Rahman Arge, sengaja digarap menjadi naskah panggung berjudul :  “CINCONG-CINCONG DALAM GERIMIS”
Hal ini saya lakukan adalah atas usulan pak Arge ditengah hadirin pada ultah DKM ke 27 di Aula Benteng  Rotterdam  Jl.. Ujung Pandang. Makassar

JACOB MARALA
Makassar 2 Desember 2008



Rudy Farooq (Palingge), Anto Danumulyo (Borra'). Suprapto Budisantoso (Dumba')
Rukmayanti (Adik kandung Palingge). Dede Prasatya (Adik Ipar). Kamariah (Putri Pak Tulang) 

Kiri berbaju biru: Sutradara (Muhammad Cobra)